Hukum merupakan suatu entitas yang sangat kompleks, dia meliputi meliputi berbagai aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagianya). Sehingga wajar sampai saat ini pengertian dari hukum itu sendiri sangat berpariasi tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Ada yang berpendapat hukum adalah segala peraturan baik yang tertulis ataupun tidak yang mempunyai sanksi tegas terhadap pelanggarnya. Ada juga yang mengaitkan hukum dengan institusi, seperti pendapat Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum itu merupakan keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat, juga meliputi lembaga (institusi) dan proses yang mewujudkan kaidah tersebut dalam masyarakat.
Hukum memang harus dapat menjadi sarana (tools) yang dapat mengcover segala kepentingan masyarakat, dan juga merupakan sarana untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh negara baik dalam politik, ekonomi, sosial dan budaya dari berbagai cara bertindak dan membuat kebijakan.
Ada yang menarik ketika kita berbicara hukum tidak hanya terkait dari pengertian hukum atau substansi hukum, tetapi apa yang membelatar belakangi dari proses dan dibentuknya hukum itu inilah yang disebut dengan politik hukum.
Politik hukum merupakan terjemahan dari istilah hukum Belanda (rechtspolitiek). Kita ingat Soedarto (Ketua Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang berpendapat bahwa politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menentapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Tak mau ketinggalan Mantan ketua Mahkamah Konstitusi dan pakar hukum tata negara Indonesia juga ikut berpendapat tentang apa itu politik hukum yang dia jelaskan dalam disertasinya yaitu Moh Mahfud MD. Ia menjelaskan bahwasanya politik hukum itu adalah legal police atau garis (Kebijakan) resmi tentang hukum yang hendak atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah (Indonesia). Mahfud juga mengatakan bahwa tiga lembaga negara disebut juga pemerintah yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif berwenang dalam melakukan politik hukum.
Jika kita melihat defenisi yang dikemukan para ahli tentang politik hukum, maka sebenarnya politik hukum itu merupakan latarbelakang penyelenggara negara dalam menetapkan kebijakan hukum yang akan, sedang dan telah berlaku dalam masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu salah satunya memajukan kesejahteraan umum.
Sebelum saya lebih lanjut menjelaskan, bahwa ketika berbicara hukum maka kita tidak boleh melupakan yang namanya sumber hukum dan hierarki peraturan perundang-undangan. Karena perumusan politik hukum itu haruslah dirumuskan berdasarkan pertauran-perundang-undangan. Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan adalah pertama UUD 1945, UU, PP, Perpres dan Peraturan Daerah. Ini menjadi dasar pembahasan politik hukum UED-SP Syariah di Bengkalis.
Permasalahan gonjang-ganjing UED-SP khususnya di Bengkalis sudah dibahas sekitar tahun 2015 yang lalu. Permasalahan ini lebih kepada tentang payung hukum yang digunakan. Ada yang mengklaim bahwasanya program UED-SP tidak mempunyai payung hukum. Namun pemerintah daerah memastikan bahwa program UED-SP telah berdasarkan hukum yaitu Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1998 dan Peraturan Gubernur Riau Nomor 591/IX/2004 tentang pembentukan komite penanggulangan kemiskinan Propinsi Riau.
Namun yang menjadi menarik adalah adanya wacana Pemerintahan Bengkalis membentuk UED-SP Syariah. Wacana pembentukan UED-SP Syariah perspektif politik hukum sangat patut untuk dipahami dan diperjuangkan. Ini jelas, karena masyarakat ingin mengetahui bagaimana strategi yang ditawarkan pemda dalam merumuskan regulasi UED-SP Syariah itu sendiri, sehingga gonjang-gonjang dari permasalahan UED-SP sebelumnya dapat dihindari.
Saya dapat mengatakan bahwa jika nantinya politik hukum UED-SP Syariah betul-betul dikerjakan dengan serius, dikerjakan dengan mempertimbangkan aspirasi dan kesejahteraan masyarakat Bengkalis dan menggandeng akademisi-akademisi handal sesuai dengan bidangnya, dan mengenyampingkan politik identitas dari masing-masing sang regluator maka ini akan menjadi solusi alternatif, angin segar bagi masyarakat yang menginginkan persoalan ekonomi harus sesuai dengan syariat Islam. Disamping itu program ini akan membuka keran bagi perguruan tinggi kususnya dibidang ekonomi Islam untuk dapat bekerja sama.
Manakala itu diterapkan, saya meyakini politik hukum UED-SP Syariah akan menjadi cerminan legal police untuk menjawab respons atas perkembangan industri dalam UED-SP yang berkepastian hukum dan berkeadilan. Sehingga regulasi yang dibentuk memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi masyarakat.
Politik hukum seperti ini bukanlah hal yang baru jika kita berkaca pada tahun 1992 yang lalu. Pada saat itu banyaknya dorongan dari masyarakat yang menginginkan adanya lembaga keuangan yang berdasarkan syariat Islam, maka secara perlahan dibentuklah bank Muamalat Indonesia sampai pada tahun 1998 regulasi tentang Bank syariah telah diundangkan. Ini menandakan bahwa positivisasi hukum dalam hukum nasional sangatlah tinggi dan diperhitungkan.
Wallahu A`lam.....
Baca Juga: