Persoalan hubungan antara hukum dan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu menarik untuk diperbincangkan karena kedua hal tersebut merupakan dua variabel yang selalu mempengaruhi. Seperti dikatakan Moh. Mahfud MD bahwa jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum, maka paling tidak ada tiga macam jawaban dapat menjelaskannya. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Adanya perbedaan jawaban dari apa yang diutarakan oleh Moh. Mahfud MD tentang mana yang lebih determinan diantara politik atau hukum, terutama perbedaan jawaban antara yang pertama dan kedua, disebabkan oleh cara pandang ahli dalam memandang sub system kemasyarakatan tersebut. Para ahli hukum idealis yang hanya memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan), mengatakan bahwa hukum harus menjadi pedoman dan penentu arah dalam segala kegiatan politik. Hukum harus dapat merekayasa perkembangan politik yang hidup dalam masyarakat dan negara. Sedangkan mereka ahli hukum yang memandang hukum dari sudut das sein (pendekatan empirik/kenyataan), maka produk hukum selalu dipengaruhi oleh politik mulai dari pembuatannya sampai pada tataran pelaksanaannya dilapangan.
Jika kita bicara kedua subsistem diatas yaitu politik dan hukum dalam konteks dewasa ini maka selalu kita menemukan bahwasanya politik itu selalu determinan dibandingkan hukum. Politik selalu memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan hukum itu sendiri. Bahkan jika kita mengingat kembali perkataan Moh. Mahfud MD bahwa hukum adalah produk politik. Artinya bahwa produk hukum yang dibentuk oleh legislator tak steril dari kepentingan politik para pembuatnya. Hukum yang dibentuk oleh suatu negara melalui proses legislasi yang dibuat oleh legislator (DPR) tak lepas dari kepentingan atau politik. Lantas sebenarnya apa yang dimaksud dengan politik?
Politik dalam bahasa belanda yaitu politiek yang mengandung arti beleid yang jika diartikan kedalam bahasa indonesia berarti kebijakan, atau dalam bahasa inggris policy. Pringgodigdo mengatakan bahwa politik adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang direncanakan dibidang hukum untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki. Memang jika kita perhatikan politik indonesia tak lepas dari kebijakan yang berdasarkan hukum atau dari penegakan hukum, sebab indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum (rechsstaath) artinya segala tindakan dan kebijakan suatu negara haruslah berdasarkan hukum, namun demikian politik yang atau kekuasaan yang dijalankan negara dibatasi oleh hukum. Disitulah menariknya jika kita berbicara kedua subsitem dalam masyarakat ini.
Politik juga selalu dikaitkan dengan kekuasaan, karena memang konsep politik itu tak lepas dari mempertahankan kekuasaan. Menurut W.A Robson politik adalah ilmu yang mempelajari kekuasaan dalam masyarakat. Ramlan Surbakti juga memiliki pendapat yang sama bahwa politik merupakan segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.
Pergulatan antara politik dan hukum terus menerus kita alami di Indonesia saat ini, bangsa kita telah mengalami yang namanya politik hukum tidak sehat, saya katakan tidak sehat sebab kepentingan individu atau kelompok lebih diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat, amanahkan konstitusi tak dihiraukan dengan cermat dan sehat, bahkan tak sedikit melanggar atau mengelabui hukum agar kekuasaan dan kepentingan selamat. Dan tak sedikit juga hukum yang dibuat sangat sarat kepentingan (politik) sehingga merugikan rakyat. Ini mendakan bahwa politik memang memiliki power lebih kuat dibandingkan hukum, sehingga produk hukumpun tak pro rakyat.
Saya teringat politik hukum tentang ketenagakerjaan yang sangat sarat terhadap pro asing, kenapa saya katakan demikian ketika Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing belum diundangkan maka TKA yang bekerja di Indonesia haruslah dapat berbahasa Indonesia, hal ini dapat kita lihat pada aturan yang lama. Tetapi setelah peraturan itu diubah dengan Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, maka TKA tak perlu harus pandai berbahasa Indonesia. Politik seperti ini sangatlah berbahaya dan rentan akan ketidakadilan pada pekerja lokal. Tak bisa kita pungkiri bahwasanya adanya TKA di Indonesia akan menciptakan lapangan pekerjaan semakin sempit untuk tenaga kerja Indonesia. Tak hanya mempersempit lapangan pekerjaan, bahkan tak jarang menutup peluang pekerjaan bagi tenaga kerja Indonesia. Maka dimana peran negara sebagai negara yang berdaulat yang mengutamakan kesejahteraan masyarakat, membuka selebar-lebarnya lapangan pekerjaan pada pekerja lokal dan melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah dara indonesia dari penjajahan fisik maupun penjajahan kebijakan dari negara asing.
Baru-baru ini adanya politik hukum yang sangat rentan menutup keran demokrasi bagi partai politik di Indonesia, yaitu dibentuknya Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tentang ambang batas parlemen (parliamentary Threshold) atau Presidential Threshold menjadi 20 persen yang diberlakukan pada pemilu 2019 ini. Artinya partai atau gabungan partai politik harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pe,ilu 2014 lalu untuk bisa mengusung psangan capres dan cawapres.
Padahal adanya ambang batas seperti diatas akan membunuh kesempatan bagi parpol kecil maupun baru untuk mengikuti perhelatan pemilu ditahun 2019 untuk mengusung presiden. Seperti dikatakan oleh kebanyakan ahli hukum tata negara indonesia seperti Prof. Jimly, Refli Harun, Irman Putra Sidin bahwa bahwa Idealnya Presidential Threshold adalah 0 persen, bahkan Refli dan Irman mengatakan bahwa adanya Presidential Threshold 20 persen langgar konstitusi yaitu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 bahwa setiap partai politil peserta pemilu mengusulkan pasangan calon presiden. Refli pun menganggap jangan-jangan ambang batas seperti itu merupakan bargaining (Tawar-menawar) pemerintah dengan pemangku kepentingan.
Seperti inilah potret politik dan hukum kita di Indonesia. Ketika kita berbicara tentang bagaimana hubungan kausalitas antara politik dan Hukum atau siapa yang determinan antara politik dan hukum.
Terakhir, sebenarnya hukum merupakan ranah yang nyata yang melihat sesuatu itu berdasarkan norma hukum yang mempunyai sifat memaksa. Artinya apabila tindakan seseorang itu salah dan melanggar hukum, maka sesorang itu harus dihukum, tetapi apabila sesorang itu benar dan tak bersalah maka harus dibebaskan. Sedangkan politik adalah ranah “kepentingan” “politic is a goal attainment” politik adalah alat untuk mencapai tujuan. Politik menggunakan cara untuk mencapai tujuan, baik legal dan tak jarang dengan cara illegal sepanjang cara itu bisa mewujudkan tujuannya maka itulah yang ditempuh.
Namun demikian kita mengharapkan bahwa hukum yang merupakan produk politik haruslah mempertimbangan keinginan-keingan rakyat, tidak hanya mengikuti hawa nafsu saja supaya kepentingan tercapai dan kekuasaan bertahan tetapi haruslah berjalan sesuai dengan koridor hukum dan amanah konstitusi agar produk hukum yang terbentuk adalah hukum responsif bukan hukum yang ortodok.
Baca Juga: