Siapa yang tak mengenal Imam Abu Hanifah, seorang ulama yang ternama, masyhur dan sekaligus menjadi salah satu imam empat madzhab yang tersepuh, sangat cerdas dan mumpuni dibidang ilmu fiqh. Menurut yang masyhur Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kuffah sekitar 1319 tahun yang lalu tepatnya tahun 80 H atau 699 M. Sebenarnya nama beliau dari kecil adalah Numan bin Tsabit Zauta bin Mah tetapi lebih populer dipanggil Abu Hanifah, dipanggil Abu Hanifah karena diantara putranya ada yang dinamakan Hanifah, dalam riwayat lain dikatakan karena ia adalah orang yang rajin dalam melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh melakukan kewajibannya dalam beragama. Karena sesungguhnya dalam bahasa arab arti dari kata “hanif” berarti “cenderung” atau “condong”. Dalam riwayat lain karena ia sangat dekat dengan tinta artinya kemana-kemana ia selalu membawa alat tulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang ia peroleh begitu penjelasan Munawar Khalil dalam bukunya biografi empat serangkai madzhab.
Selain cerdas dan masyhur, Imam Abu Hanifah juga seorang ulama yang wara dan taqwa. Hal ini bisa dilihat ketika ia menolak jabatan hakim pada masa Bani Ummayyah dan Abbasiyah. Karena Imam Abu Hanifah dijelaskan oleh Ahmad Asy-Syurbasi dalam kitabnya al-Aimmah al-Arbaah begitu sadar bahwa dalam menulis fiqh harus bebas dari pengekangan penguasa, sebab dengan menghindari ikatan-ikatan kedudukan ia dapat leluasa mengembangkan kajian-kajian fiqhiyyah. Tetapi kewaraannya tidak membuat ia jatuh miskin melainkan berlimpah harta. Imam abu hanifah juga ulama yang rasionalis, hal ini dapat kita lihat pada tulisan-tulisan dan jawaban-jawaban beliau tentang persoalan fiqh yang sangat rasional dan mudah dicerna.
Imam syafii seorang ulama yang ketika masih kecil sudah hafal Al-quran pun tak luput mengomentari sosok Imam Abu Hanifah, beliau berkata bahwa “semua orang dalam fiqh menginduk kepada Imam Abu Hanifah”.
Tak ada yang meragukan sosok ulama yang masyhur ini, bahkan dalam permasalahan-permasalahan fiqh banyak para ulama-ulama kontemporer mengutip pendapat beliau seperti misalnya permasalahan tentang arah kiblat, beliau berpendapat bahwa ketika seseorang hendak melaksanakan sholat dan bingung dimana arah kiblat, maka bolehlah ia sholat menghadap qiblat yang ia yakini. Contohnya lagi tentang permasalahan pernikahan. Bahwa nikah anak perempuan yang dipaksa itu tidak sah. Bahkan konsep beliau tentang negara sangat banyak diterapkan oleh negara-negara di dunia, menurut beliau negara memiliki kuasa penuh untuk mengatur dan mengarahkan keuangan negara. Konsep seperti ini merupakan teori kedaulatan negara. Artinya bahwa negara memiliki kekuasaan tertinggi untuk mengatur, mengarahkan, dan memimpin suatu pemerintahan termasuk didalamnya mengatur tentang keuangan negara dan penggunaannya. Negara tak boleh diatur, dintervensi, dibawah tekanan oleh pihak swasta. Serta beberapa contoh permasalahan fiqh muamalah.
Jika kita membahas tentang fiqh muamalah, maka secara sederhana fiqh secara bahasa artinya memahami, fiqih secara sederhana bisa juga diartikan sebagai produk hukum atau hasil penafsiran ulama terhadap syariah. Sementara jika kita mengkaji sedikit lebih mendalam seperti yang dikemukakan oleh ulama syafiiyah bahwa yang dimaksud dengan fiqh adalah hukum syariat yang terkait dengan amal yang digali dari dalil-dali secara terperinci. Defenisi yang diutarakan oleh ulama syafiiyah ini menjelaskan kepada kita bahwa fiqh adalah hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf mengenai halal,haram, sunnah, mubah maupun makruh yang digali atau didapatkan melalui ijtihad oleh ulama yang berlandaskan al-quran maupun as-sunnah.
Sementara muamalah berasal dari kata “ Amal/Amala” yang berarti “berbuat”, selanjutnya menjadi “ Aamal/Aamala” yang berarti “saling berbuat”. Berarti terdapat “aksi” dan “rekasi”. Ada juga mengartikan bahwa muamalah adalah hubungan manusia dengan manusia lainnya. Muamalah juga dapat didefenisikan sebagai hubungan manusia dengan manusia lainnya yang berhubungan dengan keduniaan dan kebendaan (harta).
Jadi secara sederhana fiqh muamalah adalah hukum-hukum Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya mengenai keduniaan misalnya jual beli, utang-piutang sewa-menyewa dan lain sebagainya.
Pembahsan masalah fiqh memang pembahasan yang selalu menampilkan banyak pendapat, karena memang pada hakikatnya fiqh itu merupakan produk hukum yang dihasilkan oleh ulama yang berlandaskan al-quran maupun as-sunnah terhadap suatu permasalahan perbuatan seseorang mengenai keduniaan. Itu sebabnya saya memandang penting bahwasanya kita harus memahami secara mendalam dan benar tentang fiqh, sebab dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari masalah ini. Terlebih zaman sekarang tak ada lagi tempat pengaduan yang dapat dilakukan oleh umat muslim sepeninggalnya Rasulullah, selain para ulama. Merekalah sebagai penerus tempat bertanya itu. Itulah mengapa Imam Abu Hanifah memang sangat antusias mendalami permasalahan fiqh secara serius dan benar. Karena memang permasalahan fiqh adalah permasalahan yang serius, yang berhubungan dengan amal seseorang dan sah atau tidaknya perbuatan seseorang itu.
Ada yang menarik ketika kita membahas permasalahan fiqh muamalah, dijelaskan bahwa suatu ketika Imam Abu Hanifah bertemu dengan murid terdekatnya yaitu Muhammad bin Al-Hasan, Imam Abu Hanifah meminta muridnya untuk menulis buku tentang zuhud, maka muridnya berkata aku telah menulis buku tentang muamalat. Jika kita melihat sekilas tentang jawaban Muhammad bin Al-Hasan maka agak aneh rasanya, karena dimintak untuk membuat buku tentang zuhud tapi dijawab telah membuat buku tentang muamalah. Tetapi pada hakikatnya jawaban seperti itu bukanlah suatu jawaban yang aneh apalagi keliru, sebab menurut Ibrahim Ad-Duwaisy bahwa jawaban Muhammad bin Al-Hasan sangatlah tepat, karena orang zuhud adalah orang yang menghindari syubhat dan makruh dalam perniagaan dan muamalat.
Berbicara sifat zuhud dalam konteks kekinian, dalam konteks era modern, dalam konteks pasar bebas, dalam konteks gaya hidup dan budaya yang penuh dengan kemewahan, maka sifat zuhud merupakan sifat yang sulit kita temukan.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat, dan wara adalah meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan membahayakan bagi kehidupan di akhirat.
Jika kita melihat kembali defenisi zuhud oleh Ibnu Taimiyah dan dikaitkan dengan konteks kisah Imam Abu Hanifah dengan muridnya maka orang yang melakukan muamalat dan perniagaan, haruslah menghindari hal-hal yang syubhat yaitu hal-hal yang mendatangkan keragu-raguan dalam hati atau menghindari dan menjauhi hal-hal yang belum jelas kehalalan dan keharamannya. Ada banyak perintah Rasulullah untuk meninggalkan hal yang syubhat misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim “bahwasanya barang siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa jatuh pada perkara yang haram”.
Contoh hal yang syubhat dalam jual-beli misalnya ketika seseorang membeli ayam potong yang dia ragu apakah ayam tersebut disembelih secara halal atau disembelih oleh non muslim (sama dengan bangkai) atau dengan cara tidak menyebut nama Allah. Maka meninggalkan hal seperti ini sangat dianjurkan.
Selain menghindari syubhat, dalam transaksi jual beli kita dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang dimakruhkan karena sesungguhnya menghindari hal yang makruh lebih mendatangkan keberkahan dari Allah dan diberikan ganjaran pahala. Sebab defenisi makruh saja sudah mendapatkan pahal jika kita meninggalkannya. Misalnya jual beli barang yang dimakruhkan misalnya rokok maupun barang yang dikhawatirkan mengandung unsur yang merusak lahir maupun batin.
Dengan demikian, dalam bermuamalah seyogyanya kita harus dapat memposisikan diri kita berada pada bingkai aturan-aturan Allah dan Rasulnya. Seseorang yang zuhud ketika bermuamalah harus dapat menampilkan nilai-nilai ilahiyah, atuaran-aturan ilahiyah didalam dirinya ketika melakukan transaksi jual beli dipasar atau transaksi muamalah lainnya. Sehingga akan tercerminlah akhlak yang baik dan pribadi yang sholih sehingga keberkahan akan Allah turunkan dan pada akhirnya akan bermuara kepada kesejahteraan. Keyakinan terhadap ajaran agama (aqidah) yang kuat dan penjalanan syariat dengan benar dan ikhlas oleh seseorang akan menampilkan sifat yang zuhud, sifat yang sesuai dengan aturan-aturan yang Allah dan Rasul buat. Sehingga akhlak yang dia tampilkan ketika bermualah tidak akan pernah melanggar aturan syariat itu sehingga peluang untuk menciptakan kerugikan pada dirinya sendiri maupun orang lain akan terhidar.
Terakhir, saya teringat akan perkataan Rasulullah melalui hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari “akan datang suatu masa, dimana orang-orang tidak perduli dari mana harta yang dia hasilkan, apakah dari jalan yang halal atau dari jalan yang haram”.
Semoga kita tidak termasuk orang-orang dalam hadits itu, yaitu orang-orang yang tidak pernah peduli akan nilai-nilai ilahiyyyah dalam mencari harta dan kemudian orang-orang yang sebenarnya masih memiliki perasaan betapa pentingnya untuk menerapkan nilai-nilai ilahiyyah itu tetapi dia tidak pernah berusaha untuk mempelajari dan memahami tentang ketentuan-ketentuan muamalah.
Baca Juga: